Friday, November 20, 2020

MUTUSAN BERGEJOLAK LAGI


Mutusan merupakan daerah aliran sungai yang bermuara di sungai paloh dan laut paloh yang terdapat vegetasi hutan mangrove yang  kondisinya masih bagus dan masih alami serta berbatasan dengan Taman Wisata Alam Tj. Belimbing atau dikenal dengan nama selimpai yang dikelola oleh BKSDA salah satu satwanya adalah penyu. Mutusan terletak di Desa Sebubus Kecamatan Paloh Kabupaten Sambas yang sudah dikenal sejak tempo dulu hingga sekarang sebagai zona ekonomi tradisional masyarakat dalam mencari kepiting, ikan, udang, kepah, tengkuyung. Selain sebagai tempat mata pencaharian, sungai mutusan juga sebagai area pemancingan bagi komunitas para pemancing, masyarakat juga melakukan kegiatan penanaman mangrove di mutusan, hal ini sebagai bentuk kepedulian masyarakat terhadap lingkungan yang bekerjasama dengan Bapedas HL Pontianak dan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sambas sehingga membawa Desa Sebubus mendapatkan penghargaan desa proklim tingkat nasional tahun 2018 dengan poin pendukungnya adalah hutan mangrove.

Hutan mangrove mutusan ini beberapa tahun yang lalu pernah terjadi konflik antara masyarakat nelayan dengan pengusaha yang berkerjasama dengan oknum masyarakat setempat, dimana mangrove mutusan akan dijadikan tambak. Hal ini tentunya menimbulkan reaksi penolakan dengan adanya demo dari masyarakat sampai hearing ke DPRD Sambas, chainsaw akibat membabat mangrove mutusan sempat di amankan. Setelah terjadi pembabatan ini, tim dari pemda sambas turun ke lokasi mutusan untuk pengecekan. Namun sayang proses penanganan masalah ini terhenti begitu saja, pada awalnya mangrove mutusan adalah Hutan Produksi (HP) SK 259 kemudian berubah menjadi Areal Penggunaan Lain (APL), karena perubahan status kawasan hutan SK 936 sampai SK 733 menimbulkan konflik di masyarakat dan menjadi pertanyaan besar, kenapa hutan mangrove yang jauh dari pemukiman di putihkan bukannya kampung yang di putihkan. Mengingat status lahan sudah berubah membuat daerah mutusan menjadi incaran para pengusaha maupun instansi terkait untuk dijadikan tambak.

Baru-baru ini mutusan bergejolak lagi akan di jadikan tambak dengan program kegiatan dari Balai Wilayah Sungai Kalimantan I Ditjen Sumber Daya Air Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat maupun Dinas Kelautan Perikanan Sambas tentang Pembangunan Saluran Irigasi Tambak dan Tambak, tentunya kegiatan ini mengundang reaksi penolakan dari masyarakat. Reaksi penolakan ini sudah terlihat pada konsultasi publik tanggal (22/9/2020) di aula kantor Camat Paloh, kemudian dilanjutkan pada kegiatan Pertemuan Konsultasi Masyarakat (PKM) di aula Bappeda Sambas tanggal (3/11/3020) apalagi data yang disampaikan oleh pihak yang akan melakukan kegiatan terdapat kejanggalan. Jika melihat dari beberapa kali pertemuan sudah jelas bahwa beberapa perwakilan tokoh masyarakat seperti Sahani, B. Syafrani, Jasman, Ramli , Darmawan salah satu penggiat lingkungan, tokoh pemuda sebubus dan lainnya menolak kegiatan yang akan merusak hutan mangrove mutusan dan sekitarnya.

Yang menjadi pertanyaan lagi dalam hal ini adalah apakah masih akan dilanjutkan kegiatan irigasi tambak dan tambak yang sudah jelas masyarakat menolak dan kenapa mesti ngotot dan dipaksakan, apakah hanya memikirkan proyek besar apalagi sudah sampai pada penyusunan draf amdal. Bapedas HL pada bulan oktober 2020 mengadakan verifikasi lapangan Rehabilitasi Hutan Dan Lahan (RHL) khusus mangrove di desa sebubus dengan keterlibatan KPH sambas di Hutan Lindung (Hutan Desa) dan LH Sambas di APL dan hasilnya mangrove di dua areal ini tidak ada yang perlu ditanami lagi mangrove karena masih bagus kecuali cetak sawah di beberapa titik yang dulunya adalah lokasi mangrove yang sekarang kondisinya terabaikan menjadi lahan terbuka tanpa tanaman padi. Mengingat cetak sawah ini berdekatan dengan sungai paloh dan hanya dibentengi dengan pematang sawah, sehingga air asin masuk.

Mangrove mutusan dan sekitarnya yang ada di desa sebubus tak hanya berfungsi sebagai mata pencaharian kaum lelaki maupun perempuan, namun juga sebagai pensuplai bibit mangrove bagi daerah lain yang terkena dampak abrasi yang perlu ditanami kembali sebagai benteng gelombang laut dan angin. Timbul pemikiran ketika hutan mangrove yang masih bagus dan alami di babat dan dihancurkan, ketika terjadi abrasi apakah warga masyarakat sebubus harus membeli bibit dari luar dan membeli kepiting, kepah, tengkuyung, terigang dari desa lain. Saat ini buah dan daun mangrove sudah mulai dimanfaatkan menjadi olahan berbagai kuliner makanan maupun minuman yang dapat menambah penghasilan ekonomi keluarga berkelanjutan.

Dengan gencarnya program Pemerintah tentang restorasi dan reboisasi di sisi lain ada program yang akan menghancurkan sungguh sedih jika hal ini terjadi. Pada jaman sekarang dengan penelitian dan teknologi, untuk meningkatkan ekonomi masyarakat pesisir di bidang budidaya perikanan banyak alternatif yang ditawarkan tanpa harus membuka lahan seluas-luasnya salah satu contohnya adalah sistem Bioflok, nelayan ramah lingkungan dan lainnya . Warga masyarakat mengingkan lokasi mangrove mutusan dijadikan hutan lindung desa atau apapun sebutan namanya yang penting secara hukum dilindungi, dan masyarakat juga berharap kepada para pemangku kebijakan harus memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi lingkungan untuk masa akan datang bukan hanya memikirkan kondisi sesaat demi meloloskan proyek yang berakibat masyarakat akan menanggung kerugian berkepanjangan jika ekosistem rusak.





































1 comment:

  1. Terima kasih sudah membagikan informasi ini.
    Bagaimana situasinya sekarang?
    Bagaimana juga peliputan media = media atas masalah ini?

    ReplyDelete