Mutusan merupakan daerah aliran sungai yang bermuara di sungai paloh dan laut paloh yang terdapat vegetasi hutan mangrove yang kondisinya masih bagus dan masih alami serta berbatasan dengan Taman Wisata Alam Tj. Belimbing atau dikenal dengan nama selimpai yang dikelola oleh BKSDA salah satu satwanya adalah penyu. Mutusan terletak di Desa Sebubus Kecamatan Paloh Kabupaten Sambas yang sudah dikenal sejak tempo dulu hingga sekarang sebagai zona ekonomi tradisional masyarakat dalam mencari kepiting, ikan, udang, kepah, tengkuyung. Selain sebagai tempat mata pencaharian, sungai mutusan juga sebagai area pemancingan bagi komunitas para pemancing, masyarakat juga melakukan kegiatan penanaman mangrove di mutusan, hal ini sebagai bentuk kepedulian masyarakat terhadap lingkungan yang bekerjasama dengan Bapedas HL Pontianak dan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sambas sehingga membawa Desa Sebubus mendapatkan penghargaan desa proklim tingkat nasional tahun 2018 dengan poin pendukungnya adalah hutan mangrove.
Hutan mangrove mutusan ini beberapa tahun yang lalu pernah terjadi
konflik antara masyarakat nelayan dengan pengusaha yang berkerjasama dengan
oknum masyarakat setempat, dimana mangrove mutusan akan dijadikan tambak. Hal
ini tentunya menimbulkan reaksi penolakan dengan adanya demo dari masyarakat
sampai hearing ke DPRD Sambas, chainsaw akibat membabat
mangrove mutusan sempat di
amankan. Setelah terjadi
pembabatan ini, tim dari pemda sambas turun ke lokasi mutusan untuk pengecekan.
Namun sayang proses penanganan masalah ini terhenti begitu saja, pada awalnya
mangrove mutusan adalah Hutan Produksi (HP) SK 259 kemudian berubah menjadi
Areal Penggunaan Lain (APL), karena perubahan status
kawasan hutan SK 936 sampai SK 733 menimbulkan konflik di masyarakat dan
menjadi pertanyaan besar, kenapa hutan mangrove yang jauh dari pemukiman di
putihkan bukannya kampung yang di putihkan. Mengingat status lahan sudah
berubah membuat daerah mutusan menjadi incaran para pengusaha maupun instansi
terkait untuk dijadikan tambak.
Baru-baru ini mutusan bergejolak lagi akan di jadikan tambak dengan
program kegiatan dari Balai Wilayah Sungai Kalimantan I Ditjen Sumber Daya Air
Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat maupun Dinas Kelautan Perikanan
Sambas tentang Pembangunan Saluran Irigasi Tambak dan Tambak, tentunya kegiatan
ini mengundang reaksi penolakan dari masyarakat. Reaksi penolakan ini sudah
terlihat pada konsultasi publik tanggal (22/9/2020)
di aula kantor Camat Paloh, kemudian dilanjutkan pada kegiatan Pertemuan
Konsultasi Masyarakat (PKM) di aula Bappeda Sambas tanggal (3/11/3020) apalagi
data yang disampaikan oleh pihak yang akan melakukan kegiatan terdapat kejanggalan.
Jika melihat dari beberapa kali pertemuan sudah jelas bahwa beberapa perwakilan tokoh masyarakat seperti Sahani, B. Syafrani, Jasman, Ramli , Darmawan
salah satu penggiat lingkungan, tokoh pemuda sebubus dan lainnya menolak kegiatan yang akan merusak hutan
mangrove mutusan dan
sekitarnya.
Yang menjadi pertanyaan lagi dalam hal ini adalah apakah masih akan
dilanjutkan kegiatan irigasi tambak dan tambak yang sudah jelas masyarakat
menolak dan kenapa mesti ngotot dan dipaksakan, apakah hanya memikirkan proyek
besar apalagi sudah sampai
pada penyusunan draf amdal. Bapedas HL pada bulan oktober 2020
mengadakan verifikasi lapangan Rehabilitasi Hutan Dan Lahan (RHL) khusus
mangrove di desa sebubus dengan keterlibatan KPH sambas di Hutan Lindung (Hutan
Desa) dan LH Sambas di APL dan hasilnya mangrove di dua areal ini tidak ada
yang perlu ditanami lagi mangrove karena masih bagus kecuali cetak sawah di
beberapa titik yang dulunya adalah lokasi mangrove yang sekarang kondisinya
terabaikan menjadi lahan terbuka tanpa tanaman padi. Mengingat cetak sawah ini
berdekatan dengan sungai paloh dan hanya dibentengi dengan pematang sawah,
sehingga air asin masuk.
Mangrove mutusan dan sekitarnya yang ada di desa sebubus tak hanya
berfungsi sebagai mata pencaharian kaum lelaki maupun perempuan, namun juga
sebagai pensuplai bibit mangrove bagi daerah lain yang terkena dampak abrasi
yang perlu ditanami kembali sebagai benteng gelombang laut dan angin. Timbul
pemikiran ketika hutan mangrove yang masih bagus dan alami di babat dan
dihancurkan, ketika terjadi abrasi apakah warga masyarakat sebubus harus
membeli bibit dari luar dan membeli kepiting, kepah, tengkuyung, terigang dari
desa lain. Saat ini buah dan daun mangrove sudah mulai dimanfaatkan menjadi
olahan berbagai kuliner makanan maupun minuman yang dapat menambah penghasilan
ekonomi keluarga berkelanjutan.
Dengan gencarnya program Pemerintah tentang restorasi dan reboisasi di sisi
lain ada program yang akan menghancurkan sungguh sedih jika hal ini terjadi. Pada
jaman sekarang dengan penelitian dan teknologi, untuk meningkatkan ekonomi
masyarakat pesisir di bidang budidaya perikanan banyak alternatif yang
ditawarkan tanpa harus membuka lahan seluas-luasnya salah satu contohnya adalah
sistem Bioflok, nelayan ramah lingkungan dan lainnya . Warga masyarakat mengingkan
lokasi mangrove mutusan dijadikan hutan lindung desa atau apapun sebutan namanya
yang penting secara hukum dilindungi, dan masyarakat juga berharap kepada para
pemangku kebijakan harus memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi lingkungan
untuk masa akan datang bukan hanya memikirkan kondisi sesaat demi meloloskan
proyek yang berakibat masyarakat akan menanggung kerugian berkepanjangan jika
ekosistem rusak.
Terima kasih sudah membagikan informasi ini.
ReplyDeleteBagaimana situasinya sekarang?
Bagaimana juga peliputan media = media atas masalah ini?