Bagi
masyarakat yang berada di dalam maupun sekitar kawasan hutan baik itu Hutan
Produksi (HP), Hutan Lindung ( HL), Taman Wisata Alam ( TWA ), Taman Nasional
menganggap bahwa dengan keberadaan kawasan hutan maka hilanglah sudah mata
pencaharian dan kebebasan mereka untuk hidup seperti sedia kala, mengingat
sebelum ditetapkannya status kawasan mereka sudah ada yang hidup turun temurun
di daerah tersebut. Salah Satu Program Nawacita yaitu membangun dari pinggiran
untuk memperluas wilayah kelola masyarakat dan untuk mengurangi ketimpangan
dalam mengelola lahan, Pemerintah memiliki kebijakan pemerataan ekonomi melalui
tiga pilar : lahan, kesempatan usaha dan sumber daya manusia. Dalam hal lahan
Presiden Joko Widodo menetapkan reforma agraria melalui dua skema pertama Perhutanan Sosial (PS) dengan memberikan
akses legal bagi masyarakat terhadap kawasan hutan negara yaitu seluas 12,7
juta hektar ( UU Kehutanan No.41/1999). Kedua Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) merupakan legalisasi dan
redistribusi tanah seluas 9,1 juta hektar ( UU Pokok Agraria No. 5/1960).
Untuk
menambah pengetahuan dan wawasan masyarakat akan hak kelola hutan dilakukan
study banding ke Kota Bogor dan Kota Jakarta, Yayasan
Aidenvironment Asia dalam hal
ini memfasilitasi desa-desa yang memiliki kawasan hutan di dua Kabupaten yang
ada di Kalbar yaitu Sambas terdiri dari Kec. Paloh Desa Sebubus dan Temajuk, Kec. Sajingan terdiri dari Desa Kaliau,
Sanatab, Sui Bening dan Santaban dimana desa-desa ini merupakan desa perbatasan
sedangkan Ketapang terdiri dari Kec. Matan Hilir Desa Sungai Putri, Sungai
tolak, Laman Satong, Kec. Sungai Melayu Rayak dari Desa Sungai Melayu, Kec. Nanga Tayap terdiri dari
Desa Simpang Tiga Sembelangaan dan Desa Tanjung Medan, Kec. Hulu Sungai terdiri
dari Desa Benua Kerio dan Desa Menyumbung, Kec. Simpang Dua terdiri dari Desa
Gema dan Desa Semandang Kanan dimana kegiatan ini diwakili oleh Kades, LPHD dan
Tokoh Masyarakat.
APA ITU PERHUTANAN
SOSIAL
Permen KLHK No. 83/2016 menegaskan bahwa Perhutanan
Sosial merupakan sistem pengelolaan hutan lestari dalam kawasan hutan negara
atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau
masyarakat hutan adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya,
keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa,
Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat, Hutan Adat atau
Kemitraan Kehutanan.
Hutan Lindung terdiri atas :
- Blok Inti yaitu perlindungan tata air & perlindungan lainnya,
potensi jasling, WA, HHBK kurang
- Blok Pemanfaatan yaitu Pemanfaatan terbatas, potensi jasling,
WA, HHBK, telah ada ijin pemanfaatan, dekat masyarakat, akses mudah sedangkan
- Blok Khusus yaitu religi, kebun raya, KHDTK, wilayah
ulayat/adat
Hutan Produksi terdiri atas :
- Perlindungan
(kawasan lindung)
- Pemanfaatan
Kawasan, JASLING, HHBK (punya potensi dan telah ada ijin pemanfaatan)
- Pemanfaatan
HHK-HA (potensi kayu tinggi dan telah ada ijin HHK-HA)
- Pemanfaatan
HHK-HT (potensi kayu rendah, areal terbuka, telah ada ijin HHK-HT)
-
Pemberdayaan
Masyarakat (potensi kayu rendah, areal terbuka, telah ada ijin
PS, dekat masyarakat)
APA ITU TORA
TANAH
OBJEK REFORMA AGRARIA (TORA) merupakan kawasan hutan negara
dan tanah negara yang berasal dari tanah terlantar, kondisi saat ini
ketimpangan kepemilikan tanah sangat besar dengan rakyat miskin 10,2 juta
tersebar di 25.863 desa di sekitar kawasan hutan yang menggantungkan hidupnya
dari sumber daya hutan sebesar 71.06 %, namun kebanyakan penduduk tidak
memiliki perlindungan hukum terhadap milik dan aksesnya pada sumber daya hutan.
Dalam kondisi saat ini TORA sangat diperlukan untuk mencapai tujuan :
Mengurangi ketimpangan penguasaan lahan dan pemilikan tanah, menciptakan sumber
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, memperbaiki dan menjaga kualitas
lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan pangan, menyelesaikan konflik agraria,
memperbaiki akses masyaralat kepada sumber ekonomi dan mengurangi kemiskinan
dan menciptakan lapangan pekerjaan. 9 juta hektar lahan TORA akan
didistribusikan dan dilegalisasikan kepada Nelayan, Petani, Penduduk Miskin
dengan komposisi : Tanah Tranmigrasi 600.000 ha, Tanah Terlantar 400.000 ha,
Tanah dari Kawasan Hutan 4.1 Juta ha, dan Legalisasi Aset Tanah 3.9 juta ha.
Agenda Kegiatan:
Minggu (14/1)
Para peserta berangkat dari desa dan berkumpul di kota kabupaten masing-masing
kemudian menuju bandara Internasional Supadio kemudian perjalanan dilanjutkan
menuju bandara Internasional Soekarno Hatta dan sampai di penginapan kota Bogor
pukul 23.00 wib.
Senin
(15/1) Sebelum kegiatan dimulai dilakukan acara pembukaan
dari pihak Yayasan Aidevironment untuk saling kenal mengenal dari perwakilan
desa dari dua kabupaten yang ikut dalam kegiatan ini, agenda pertama adalah
mengunjungi Kelompok Tani Hutan Cibulao Desa Tugu Utara Cianjur. Disi para
peserta belajar mengenai pola kerjasama kemitraan kehutanan dengan perhutani
tentang pola penanaman kopi di dalam hutan sesuai skema agroforestri serta
berkeliling dilokasi kerja kelompok tani hutan sambil disuguhi minuman kopi
Cibulao.
Cerita sukses kelompok tani hutan Cibulao dalam mengembangkan usaha kopi
di dalam kawasan Hutan Produksi (HP) dimana kopi ditanam tanpa merusak fungsi
hutan dan kesuksesan kelompok dalam Perhutanan Sosial.
Setelah menikmati minuman kopi perjalanan dilanjutkan ke PT. Massada yang
mengelola kebun sayur organik yang bermitra dengan petani sayur organik mulai
dari penanaman, perawatan, pemanenan sampai pemasaran.
Selasa
(16/1) Para peserta belajar verifikasi pemetaan tentang
potensi Perhutanan Sosial dan Tora di desa masing-masing dengan menentukan mana
yang cocok dan sesuai dengan skema yang akan di ambil apakah itu Hutan Desa,
Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan Kehutanan atau Hutan
Adat. Kegiatan dilanjutkan ke Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi
Kebijakan dan Perubahan Iklim (Kehutanan). Kekuatan kelembagaan dalam hal ini
dalam mengelola perhutanan sosial sangat penting sebagai kunci keberhasilan dan
keberlangsungan kelembagaan ini dengan transparansi, ketekunan dan terus
belajar dan tentunya dengan fasilitasi pendampingan dari Pemerintah, Perusahaan
maupun LSM.
Rabu
(17/8) Untuk mengenal jenis-jenis tanaman rempah, obat dan
atsiri yang memiliki potensi ekonomi yang besar di pasar nasional maupun
internasional peserta di ajak ke Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (
BALITTRO), disini peserta belajar dalam pengenalan proses-proses pasca panen
yang diperlukan untuk mengolah tanaman rempah, obat dan atsiri menjadi produk
ekonomi yang bernilai tinggi. Setelah melihat produk yang dihasilkan peserta
juga berkeliling di wisata kebun tanaman obat dan melihat pembibitan lada perdu
yang tidak memerlukan kayu atau tiang penyangga, perjalanan semakin asyik
dengan mencicipi jamu tradisional yang ada di BALITTRO. Untuk tanaman rempah,
obat dan atsiri sebenarnya banyak tumbuh di sekeling kita dan hutan, namun
belum tau kandungan zat, manfaat maupun dosisnya dalam hal ini BALITTRO dapat
membantu dari segi pengujian kualitas yang di temukan di desa, sertifikasi
benih dan memberikan pelatihan untuk budidaya yang baik dan bekualitas. Untuk
dapat memasarkan tanaman rempah, obat dan atsiri desa harus berdikusi dengan
Dinas Kesehatan dan Dinas Perdagangan.
Perjalanan berlanjut ke Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor ( BPTKB),
kita semua mengetahui bahwa harga karet saat ini sangat murah namun hasil
produk akhinya yang dihasilkan dari latek alam sangat mahal. Karet dapat
diproduksi menjadi berbagai jenis produk seperti ban, bantal, termasuk untuk jalan yang sudah diuji coba di
Istana Presiden, tentunya kebun karet masyarakat harus bisa kembali jaya dan
dapat menghidupi petani karet. Proses pasca panen latek harus ditingkatkan agar
petani karet bisa menjual dengan harga yang lebih tinggi dengan mendorong
Pemerintah Kabupaten untuk menyerap hasil produksi latek rakyat melalu
pembangunan infrastruktur daerahnya. BPTKB dapat membantu dari segi pengujian
kualitas latek yang sudah dihasilkan petani karet, pelatihan teknis pengolahan
latek pasca panen yang dapat menghasilkan latek berkualitas tinggi.
Untuk menghilangkan rasa lelah peserta diajak santai dan ngopi bersama di
Rumah Kopi Ranin Bogor yang
beralamat di Jl. Ahmad Sobana, disini tersedia berbagai jenis kopi dari
berbagai dari daerah seluruh Indonesia bahkan Manca Negara dengan alat seduh :
french press, pour over atau syphon. Sambil menikmati kopi sesuai pesanan
masing-masing peserta berkesempatan ngobrol bersama Mas Tejo Pramono Pakar Kopi,
Beliau menjelaskan bahwa Ranin
singkatan dari “Rakyat Tani Indonesia” dan kedai kopi yang dikelolanya bukan
hanya kedai kopi semata namun sebagai wadah ruang terbuka bagi siapa saja untuk
menemukan ide-ide kreatif melalui berbagai diskusi sehingga masyarakat desa
harus memanfaatkan kekuatan dari pengetahuan dan budaya lokal untuk bersaing
dengan pengusaha yang memiliki modal lebih besar. Dengan kegiatan ini tentunya
dapat memacu semangat masyarakat desa untuk mengembangkan tanaman kopi dan lain
sebagainya yang memiliki nilai ekonomi tinggi mengingat peluang pemanfaatkan
lahan di hutan kawasan yang masih sangat luas di Sambas dan Ketapang melaui
perhutanan sosial.
Kamis
(18/1) Setelah berkeliling di kota bogor kegiatan di
lanjutkan ke Kota Jakarta dengan audiensi di Dirjen Pembangunan Kawasan Perdesaan,
Kemenrtian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Tranmigrasi (Dirjen PKP,
Kemen PDTT). Dirjen PKP dalam hal ini berkomitmen untuk mendorong pembentukan
PKP berdasarkan Perhutanan Sosial dan Ketahanan Pangan di dua Kabupaten (
Sambas dan Ketapang ) dimana desa-desa ini sudah teridentifikasi potensi
Perhutanan Sosial dan TORA dengan langkah-langkah pengusulan pendataan jumlah
penduduk, pendataan luas area dan pendataan calon-calon penerima sesuai dengan
kreteria yang di tetapkan.
Audiensi berikutnya ke Direktorat Land Reform, Dirjen Penataan Agraria,
Kementrian ATR BPN, dalam kesempatan ini peserta mendapat penjelasan tentang
program TORA dan berkomitmen untuk
mendorong pencapaian target reforma agraria yang sudah ditetapkan oleh Presiden
sampai tahun 2019. Reforma agraria dapat dilakukan melalui : Legalisasi aset
(PTSL) berupa lahan tranmigrasi bukan kawasan, lahan APL yang belum
bersertifikat, kemudian dengan Redistribusi lahan (Pelepasan Kawasan Hutan,
bekas HGU/Tanah Negara).
Kementrian ATR BPN hanya bisa memberikan sertifikat tanah di lahan
kawasan hutan yang sudah dilepaskan oleh Kementrian LHK yang diperbaharui
setiap 6 bulan dengan total target pelepasan 4,1 juta hektar sampai tahun 2019.
Untuk sertifikasi didalam kawasan hutan yang tidak masuk dalam alokasi
pelepasan kawasan hutan harus mengacu pada Peraturan Presiden No.88Tahun 2017
dengan faktor penting adanya bukti fisik bahwa masyarakat lokal sudah tinggal
didaerah tersebut sebelum ditunjuk menjadi kawasan hutan negara.
Adapun pengajuan melalui Peraturan Presiden No.88 Tahun 2017 harus
didahuliu dengan :
1. Inventarisir lahan dan pemilik lahan yang masuk dalam kawasan hutan
2. Permintaan rekomendasi Bupati untuk membentuk tim inventaris untuk
melalukan verifikasi
3.
Pengajuan dan rekomendasi pelepasan dari Gubernur ke KLHK terkait kondisi
masyarakat yang tinggal di dalam kawasan hutan
4.
Pembentukan tim tata batas oleh KLHK untuk melakukan penataan ulang
5.
Pengajuan hasil tata batas ulang oleh KLHK ke Dirjen Planolog, Kemen ATR BPN
6.
Pelepasan daerah dari kawasan hutan.
Setelah mendengan penjelasan dan pemaparan Dirjen Penataan Agraria bagi
desa yang sudah masuk dalam kabupaten prioritas pelepasan kawasan hutan untuk
segera melakukan verifikasi lahan serta pemiliknya agar segera ditindak lanjuti
oleh Kemen ATR BPN, salah satu yang menarik dalam sesi tanya jawab bahwa
masyarakat mempertanyakan tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang mereka bayar
pada Pemkab padahal tempat tinggal mereka berstatus kawasan hutan.
Jum’at
(19/1) merupakan hari terakhir audiensi di Jakarta dan
kali ini peserta bertemu dengan Dirjen Perhutanan Sosial dan Kerjasama
Lingkungan, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dalam daftar draf
perhutanan sosial ada beberapa desa peserta yang sudah memiliki perizinan
seperti di Kabupaten Sambas : Desa Sebubus terdapat Hutan Desa(HD) dan Hutan
Kemasayarakatan (HKm), Desa Sanatab dan Desa Kaliau terdapat Hutan
Kemasayarakatan (HKm) sedangkan di Kabupaten Ketapang : Desa Laman Satong terdapat
Hutan Desa(HD). Perhutanan Sosial di buat untuk memberikan posisi yang lebih
kuat bagi masyarakat desa dalam menghadapi pengusaha bermodal besar terkait
pemberian akses perizinan terhadap hutan dan sumber daya hutan, perhutanan
sosial dapat dilakukan di kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi (biasa, tetap
dan konversi), serta kawasan Konservasi ( TWA, TN dll). Bagi desa yang telah memiliki
perizinan maupun yang baru dalam tahap pengusulan, desa harus membentuk dan
menyiapkan badan usaha baik itu Koperasi maupun Bumdes yang berlandaskan hukum
milik masyarakat untuk mengelola hasil yang diperoleh dari perhutanan sosial
didaerahnya.
Setelah Sholat Jum’at dan beristirahat perjalanan dilanjutkan ke titik
terakhir yaitu Deputi Hubungan Antar Lembaga dan Wilayah, Badan Ekonomi Kreatif
( BE Kraf), di tempat ini peserta semakin bertambah pengetahuannya tentang
bagaimana meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat secara luas dengan
menyediakan lapangan pekerjaan bagi banyak orang serta menghasilkan
produk-produk siap ekspor. BE Kraf berperan dalam bagian akhir suatu proses
produksi, seperti dicontohkan membuat nilai suatu produk atau jasa menjadi
lebih tinggi, memberikan pelatihan mengenai pemasaran yang berkualitas,
mengenalkan akses kepada pasar yang lebih luas (Nasional dan Internasional).
Beberapa produk unggulan BE Kraf adalah Kerajinan Tangan, Tekstil, Kuliner,
Vidio dan Musik, legalitas produk serta Akses adalah kata kunci dalam
pengembangan wisata dan pengembangan usaha lainnya. Dengan berakhirnya audiensi para peserta
memiliki kesempatan untuk berjalan-jalan melihat Monas dan tempat-tempat
lainnya dan menikmati kemacetan di Jakarta sebelum kembali ke Bogor.
Sabtu
(20/1) Rasa capek dan letih terlihat diwajah para peserta
setelah mengikuti serangkaian agenda yang padat namun mereka sangat senang dan
bersemangat, bahkan diantaranya ada yang demam dan batuk hal ini disebabkan
karena perubahan cuaca. Setelah sarapan pagi peserta berkumpul dengan panitia
kegiatan dari pihak Aidenvironment Asia untuk menyampaikan kesan dan pesan selama
kegiatan dan dengan harapan setelah pulang kedesa masing-masing dapat menindak
lanjuti tentang perhutanan sosial tidak hanya habis di study banding saja.
Sebagai kegiatan penutup dibogor peserta diajak ke Wisata Pancer di Kawasan
Taman Wisata Alam yang selalu ramai dikunjungi warga dengan keindahan pohon
cemara yang dikelola dengan baik dengan melibatkan masyarakat setempat, tempat
wisata ini sebagai gambaran bagi desa dimana tempat mereka berada yang memiliki
keunikan dan potensi wisata dapat dikembangkan. Bogor yang dikenal sebagai kota
hujan memiliki kebun raya yang sudah terkenal dan juga terdapat istana
kepresidenan serta taman-taman tempat berkumpulnya warga bogor tidak luput dari
pandangan peserta.
Keesokan harinya Minggu
(21/1) Peserta pulang ke Kalbar dan menuju desa masing-masing dengan
membawa secercah harapan bahwa desa mereka yang keberadaannya di dalam dan
sekitar kawasan hutan juga mendapat kesempatan dalam mengelola lahan yang ada
demi tercapainya keadilan dan kesejahteraan masyarakat dalam meningkatkan taraf
hidup, dengan harapan percepatan perhutanan sosial yang ada sekarang ini dapat
segera terealisasi.